Menguak Misteri Rumoh Geudong
DIANTARA sederet kisah luka di Aceh, Rumoh Geudong bermakna
sebagai simbol resistensi atau perlawanan rakyat melawan negara, juga
sebuah kenangan buruk, betapa negara begitu semena-mena terhadap
rakyatnya.
Rumoh Geudong memang memiliki sebuah kisah dan sejarah tersendiri bagi
rakyat Aceh. Ditengah isu politik pada masa akan dicabutnya Daerah
Operasi Militer (DOM) pada tanggal 7 Agustus 1999 saat jendral Wiranto
menjabat, semakin terbuka peluang atas pengungkapan berbagi kasus
kejahatan HAM yang terjadi di Aceh.
Rumoh Geudong terletak di desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga,
Kabupaten Pidie, atau berjarak 125 kilometer dari pusat kota Banda Aceh.
Kabupaten Pidie ini menempati posisi Lintang Utara 4,39-4,60 derajat
dan Bujur Timur 95,75-96,20 derajat.
Menurut alkisah dari penuturan ahli waris Rumoh Geudong ini dibangun
pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, putera seorang hulubalang yang
tinggal di Rumoh Raya sekitar 200 meter dari Rumoh Geudong. Pada masa
penjajahan oleh Belanda, rumah tersebut sering digunakan sebagai tempat
pengatur strategi perang yang diprakarsai oleh Raja Lamkuta bersama
rekan-rekan perjuangannya.
Namun, Raja Lamkuta akhirnya tertembak dan syahid saat digelarkan aski
kepung yang dilakukan oleh tentara marsose di Pulo Syahi, Keumala berkat
adanya informasi yang di dapat dari informan (cuak, dalam bahasa Aceh).
Jasadnya Raja Lamkuta dikuburkan dipemakaman raja-raja di Desa Aron
yang tidak jauh dari Rumoh Geudong.
Tidak berhenti begitu saja perjuangan Raja Lamkuta, adiknya Teuku Cut
Ahmad akhirnya mengambil alih lagi ketika baru berusia 15 tahun untuk
memimpin perjuangan terhadap Belanda, namun beliau juga syahid ditembak
oleh Belanda yang mengepung Rumoh Geudong.
Pada masa-masa berikutnya, Rumoh Geudong ditempati secara berturut-turut
oleh Teuku Keujren Rahman, Teuku Keujren Husein, Teuku Keujren Gade.
Selanjutnya pada masa Jepang masuk dan menjajah Indonesia hingga
merdeka, rumah tersebut ditempati oleh Teuku Raja Umar (Keujren Umar)
anak dari Teuku Keujren Husein. Setelah Teuku Raja Umar meninggal, rumah
ini ditempati anaknya Teuku Muhammad.
Pengurusan
Rumoh Geudong sekaran ini dipercayakan kepada Cut Maidawati anaknya
dari Teuku A. Rahman. Teuku A. Rahman mewarisi rumah tersebut
berdasarkan musyawarah keluarga, dari ayahnya yang bernama Teuku Ahmad
alias Ampon Muda yang merupakan anak Teuku Keujren Gade.
Sebelum Rumoh Geudong digunakan sebagai pos militer (Pos Sattis) sejak
April 1990. Masih menurut ahli waris, penempatan sejumlah personal
aparat militer pada saat itu hanya sementara, tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Sebenarnya pemilik Rumoh Geudong merasa keberatan, namun
para anggota Kopassus yang terlanjur menjadikan rumah tersebut menjadi
pos militer sekaligus “rumah tahanan” dan tidak mau pindah lagi.
Baru pada tahun 1996, dibuatlah sebuah surat pinjam pakai rumah yang
ditandatangani Muspika setempa, tetapi sayang tanpa ada tanda tangan
pemilik rumah. Rumah ini juga terkenal angker karena dihuni oleh makhlus
halus, sehingga para anggota aparat yang bertempat disitu sering
diganggu.
Memang ikhwal adanya sebuah peti mati yang berisikan kain kafan
berlumuran darah di Rumoh Geudong cukup membuat mistis para penghuninya.
Dari peti mati inilah sering keluar makhlus halus yang berwujud
harimau. Menurut penuturan dari pemilik rumah ini, kain kafan yang
berlumuran darah dalam peti tersebut merupakan milik nenek dari
hulubalang pemilik Rumoh Geudong yang meninggal dunia karena
diperlakukan secara kejam oleh Belanda.
Ada gangguan yang memang dirasakan oleh para aparat di tempat itu,
misalnya aparat yang beragama non muslim yang tidur di rumah atas (rumah
Aceh), secara tiba-tiba ‘diturunkan’ ke rumah bawah. Pada tahun 1992,
sempat terjadi juga penembakan yang dilakukan oleh seorang anggota
Kopassus yang menembak mati temannya sendiri karena ia bermimpi
didatangi harimau yang menyuruhnya menembak temannya itu.
Karena beberapa peristiwa ini sering mengganggu, aparat militer hanya
bertahan beberapa bulan saja di Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron dan
kemudian terpaksa pindah ke Desa Amud. Namun, karena alasan kurang
strategis untuk sebuah pos operasi militer, anggota Kopassus memindahkan
lagi posnya dari Amud ke Rumoh Geudong dengan meminta bantuan seorang
ulama terkenal, Abu Kuta Krueng untuk memindahkan makhlus halus yang
sering menghantui mereka yang berada di dalam peti mati melalui sebuah
acara ritual kenduri (hajatan kecil).
Tak Ada Lagi Jerit Kesakitan
Warga sekitar Rumoh Geudong (rumah gedung), markas Kopassus yang dipakai
sebagai tempat penahanan dan penyiksaan terhadap masyarakat Aceh, tidak
lagi mendengar teriakan kesakitan dan menyaksikan penyiksaan yang
dilakukan Kopassus. Perasaan lega masyarakat itu muncul seiring
ditariknya pasukan ABRI dari seluruh wilayah Aceh.
"Kami sudah tak sanggup lagi mendengar dan menyaksikan orang-orang
disiksa di Rumoh Geudong itu. Kalau malam, tidur kami sering terganggu
karena mendengar jeritan-jeritan orang yang disiksa. Atau mendengar
lagu-lagu dari tape yang diputar keras-keras waktu penyiksaan," kata seorang warga Desa Aron, tempat marksa Kopassus itu berada.
Kepergian Kopassus dari Aron disambut gembira masyarakat sekitar. Namun begitu, pemilik Rumoh Geudong mengeluh. Kopassus meninggalkan tagihan jutaan rupiah untuk rekening telepon.
Kepergian Kopassus dari Aron disambut gembira masyarakat sekitar. Namun begitu, pemilik Rumoh Geudong mengeluh. Kopassus meninggalkan tagihan jutaan rupiah untuk rekening telepon.
"Mereka suruh kami menagih pembayarannya sama bupati," kata pemilik rumah itu.
Selama operasi Jaring Merah dilancarkan di wilayah itu, Pemda Pidie sudah cukup banyak mengeluarkan dana untuk biaya operasional Kopassus. Dana yang sebenarnya milik rakyat Pidie itu dipakai Kopassus untuk membayar rekening telepon, listrik, sewa rumah, kendaraan, dan sebagainya.
"Tragisnya dana milik rakyat itu dipakai Kopassus untuk membunuh, menyiksa dan memperkosa rakyat," ujar seorang warga.
Selama operasi Jaring Merah dilancarkan di wilayah itu, Pemda Pidie sudah cukup banyak mengeluarkan dana untuk biaya operasional Kopassus. Dana yang sebenarnya milik rakyat Pidie itu dipakai Kopassus untuk membayar rekening telepon, listrik, sewa rumah, kendaraan, dan sebagainya.
"Tragisnya dana milik rakyat itu dipakai Kopassus untuk membunuh, menyiksa dan memperkosa rakyat," ujar seorang warga.
Berakhirnya Tanda Luka
Pos Sattis atau lebih dikenal dengan Rumoh Geudong menjadi ‘neraka’ bagi
masyrakat Pidie. Meledaknya pengungkapan kejahatan kemanusiaan di rumah
yang mempunyai luas tanah 150 x 80 meter yang tidak jauh dari jalan
raya Banda Aceh - Medan sungguh telah mengores luka berat. Tidak hanya
masyarakat di luar Aceh, bahkan bagi masyarakat Aceh pun kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat negara (Pa’i, -istilah TNI/Polri
bagi rakyat Aceh) telah melampaui akal sehat mereka.
Menurut keterangan masyarakat setempat, sejak Maret 1998 sampai DOM
dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 (sekitar lima bulan, sebelum rumah
itu dibakar massa), Rumoh Geudong telah dijadikan tempat tahanan sekitar
lebih dari 50 orang laki-laki dan perempuan yang dituduh terlibat dalam
Gerakan Pengacau Keamana-Aceh Merdeka (GPK-AM).
Namun, dari penuturan seorang korban, ketika korban yang sempat ditahan di Pos Sattis selama tiga bulan, dia telah menyaksikan 78 orang dibawa ke pos dan mengalami penyiksaan-penyiksaan. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang telah disiksa atau pun dieksekusi di tempat ini jika kembali dihitung mulai tahun 1990 sejak pertama kali Pos Sattis digunakan sampai tahun 1998.
Namun, dari penuturan seorang korban, ketika korban yang sempat ditahan di Pos Sattis selama tiga bulan, dia telah menyaksikan 78 orang dibawa ke pos dan mengalami penyiksaan-penyiksaan. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang telah disiksa atau pun dieksekusi di tempat ini jika kembali dihitung mulai tahun 1990 sejak pertama kali Pos Sattis digunakan sampai tahun 1998.
Saat Tim Komnas HAM melakukan penyisiran dan penyelidikan ke Rumoh
Geudong, tim juga menemukan berbagai barang bukti seperti kabel-kabel
listrik, balok kayu berukuran 70 cm yang sebagian telah remuk serta
bercak-bercak darah pada dinding-dinding rumah.
Selain itu, tim juga melakukan penyisiran dengan penggalian tanah di
halaman Rumoh Geudong yang diduga dijadikan tempat sebagai tempat
kuburan massal. Setelah dilakukan penggalian, tim hanya menemukan tulang
jari, tangan, rambut kepala dan tulang kaki serta serpihan-serpihan
tulang lainnya dari kerangka manusia.
Bagi masyarakat Aceh, kebencian terhadap Rumoh Geudong menjadikan mereka
sangat mudah disulut provokasi oknum-oknum yang punya kepentingan untuk
memusnahkan bukti kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang pernah
dterjadi di rumah itu.
Tepat tanggal 12 Agustus 1998, sekitar 30 menit setelah Tim Komnas HAM
yang dipimpin oleh Baharudin Lopa meninggalkan lokasi rumah tersebut
dalam rangka mencari bukti-bukti kebenaran, akhirnya dibakar oleh
massa. Tentu hal ini sangat disayangkan, karena telah hilangnya bukti
penanda sejarah atau monumen historis adanya kekejaman dan kejahatan
kemanusiaan yang telah terjadi di tempat ini.
Namun, lain lagi menurut ahli waris Rumoh Geudong. Pembakaran rumah
tersebut ternyata sejak tahun 1945, pernah dicoba baka oleh sekelompok
orang, lagi-lagi hasil itu gagal karena tiba-tiba muncul tiga ekor
harimau dari rumah dan menyerang para pelakunya. Dan entah kenapa
setelah dijadikan sebagai Pos Sattis oleh aparat, Rumoh Geudong malah
justru dapat dibakar.
Menurut penuturan terakhir dari ahli waris, Teuku Djakfar Ahmad:
“Mungkin Rumoh Geudong itu sendiri yang ‘minta dibakar’, karena tak
ingin sejarahnya ternoda. Kalau dibikin monumen, mungkin orang hanya
ingat Rumoh Geudong sebagai tempat pembantaian. Sedangkan sejarah
perjuangannnya bisa-bisa dilupakan orang.”
Inilah kisah tragis Rumoh Geudong, pada masa Belanda dan Jepang, rumah
besar ini justru menjadi pusat perjuangan membela agama dan merebut
kemerdekaan Indonesia. Semoga kisah ini menjadi sebuah sejarah yang
tidak pernah dilupakan oleh rakyat Aceh, kenangan yang telah membekas
menjadi satu pelajaran yang bisa diambil untuk anak cucu nantinya.[]
***