Kisah Iskandar Muda Menyerang Portugis di Malaka
Hikayat Malem Dagang adalah syair
kepahlawanan Aceh. Isinya mengisahkan penyerangan Sultan Aceh Iskandar
Muda terhadap Portugis yang berkuasa di Malaka. Kerajaan Malaka
ditaklukkan Portugis pada tahun 1511 M. Sultan Malaka dan keturunannya
yang menyingkir; akhirnya mendirikan kerajaan Johor. Sekarang: Malaka
dan Johor; keduanya merupakan dua negara bagian/provinsi di Malaysia.
Akhirnya
terdapat karakter ( tabiat ) khas dari kedua raja itu; sejauh yang
diperoleh dari berita-berita. Secara umum berita-berita itu menjelaskan,
bahwa Alaidin adalah pengantuk dan raja yang tidak punya watak, yang
mengabaikan pemerintahannya dan menyerahkannya kepada saudara
laki-lakinya Raja Sebrang, yang mempunyai sifat sebaliknya yaitu orang
yang tegas dan terpercaya.
Adanya penyerangan Aceh terhadap
Portugis di Malaka adalah kenyataan sejarah, baik sebelum masa Sultan
Iskandar Muda maupun disaat beliau berkuasa. Dalam disertasi sejarawan
Perancis Denys Lombard; yang telah diterjemahkan,”Kerajaan Aceh -Jaman
Sultan Iskandar Muda (1607-1636) juga dimuat daftar penyerangan Aceh ke
Malaka, yaitu pada tahun : 1537, 1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587,
1606-Portugis menyerang Aceh dan benteng-benteng mereka masih bersisa di
Krueng Raya-,1613,1615 – Aceh menyerang Johor, karena membantu
Portugis-,1617- Aceh menyerang Pahang,karena bersekutu dengan
Portugis,1623,dan tahun 1629 Masehi.
Fakta sejarah ini amat sedikit
disinggung dalam sumber-sumber tertulis Aceh sendiri. Diantara yang
secuil itu, Hikayat Malem Dagang-lah satu-satunya, walaupun sebutan
Portugis tidak satu kali pun dicantumkan di dalamnya. Sementara dalam
Hikayat Prang Peringgi(artinya, Hikayat Perang Portugis); sama sekali
tidak menyinggung data-data sejarahnya,kecuali semangat jihad saja.
Karena Hikayat Malem Dagang
(buat selanjutnya disingkat dengan HMD) bukanlah kitab/buku sejarah,
maka muncullah beragam hasil analisis tentang para pelaku dalam kisah
itu. Begitu pula mengenai waktu dan lokasi dalam cerita tersebut.
Masalah pendapat-pendapat para pengkaji hikayat itulah yang
diperbincangkan dalam tulisan ini. Sejauh yang saya ketahui, bahwa
Dr. Snouck Horgronje adalah pengkaji paling awal mengenai HMD. Dalam
bukunya yang sudah diterjemahkan “Aceh di Mata Kolonialis, jilid II;
Snouck Hurgronje mengatakan HMD disusun tidak lama setelah peristiwa itu
terjadi, yakni masih di abad ke 17 M. Agaknya, naskah yang dikaji
Snouck Hurgronje merupakan salinan-ulang yang oleh penyalinnya telah
disesuaikan isinya dengan kondisi Aceh saat itu. Kata Snouck: diseluruh
hikayat disebutkan bahwa Raja Si Ujud yang dilawan Sultan Iskandar Muda
adalah raja Belanda.
Pengkaji kedua juga bangsa
Belanda,yakni DR.H.K.J.Cowan dengan bukunya “De Hikajat Malem Dagang”
diterbitkan tahun 1933. Cowan juga menegaskan bahwa HMD dikarang pada
abad ke 17. Nampaknya, naskah yang dikaji Cowan lebih tua, sehingga
“Raja Si Ujud sebagai raja Belanda belum dijumpai di dalam naskah itu.
Tahun 2006 naskah HMD yang dimuat dalam buku “De Hikajat Malem Dagang”
telah saya salin ke huruf Latin ejaan EYD, yang sebelumnya dalam ejaan
Belanda. Tetapi sampai hari ini hasil transliterasi saya itu belum
diterbitkan. Penulisan oleh H.K.J.Cowan akan buku ini terkesan amat
serius, sehingga semua isi hikayat yang dalam bahasa Aceh telah
diterjemahkan ke bahasa Belanda, disamping pembahasan isinya yang
panjang lebar pula. Kajian H.K.J.Cowan inilah yang saya pakai sebagai
bahan utama tulisan ini.
Lantaran saya tidak bisa bahasa
Belanda, karena itu saya mintalah bantuan penterjemahannya kepada
sahabat saya Drs. Agus Supriyono,MA; Dosen Fakultas
Sastra,Undip-Semarang. Pengkaji ketiga HMD adalah
Prof.A.Hasjmy. Beliaulah yang memperkenalkan kembali HMD secara lebih
meluas.Dengan merujuk dua buku Sejarah Johor dan Sejarah Pahang karya
HajI Buyung Adil yang diterbitkan di Malaysia; A.Hasjmy berkali-kali
menulis tentang HMD.
Diantara karya A.Hasjmy mengenaI
HMD yang telah dimuat dalam berbagai buku/makalah ialah yang dimuat
dalam buku “Seulawah Antologi Sastra Aceh-Sekilas Pintas” halaman
524-541; terbitan Yayasan Nusantara tahun 1995.Berbeda dengan dua
pengkaji bangsa Belanda sebelumnya. A.Hasjmy berpendapat HMD dikarang
Teungku Ismail bin Ya’kub alias Teungku Chik Pante Geulima pada tahun
1309 H. Pada pentup HMD dalam buku “De Hikajat Malem Dagang” yang
ditulis/disalin H.K.J.Cowan memang tercantum tahun 1309 H, tetapi saya
lebih yakin tahun itu adalah tahun penyalinan ulang. Sebab, menyimak
gaya penulisannya, maka saat penyusunan pertama HMD lebih tua dari tahun
itu.
Prof.A.Hasjmy juga mangikuti
pendapat Hoesein Djajadiningrat; walaupun masih dengan nada ragu, bahwa
yang disebut Raja Si Ujud dalam HMD adalah Sultan Alauddin Riayat Syah
III, sultan Johor; sedangkan Raja Raden ,yaitu Raja Abdullah alias Raja
Seberang atau Raja Bungsu. Dalam buku antologi tersebut di atas
A.Hasjmy menulis begini :“Mungkin sekali yang dimaksud dengan Raja Si
Ujud dan Raja Raden dalam Hikayat Malem Dagang adalah Sultan Alauddin
Riayat Syah III dan Raja Abdullah” Mengenai asal nama Raja Si Ujud,
A.Hasjmy pada antologi yang sama juga menulis:”
Dalam sejarah Aceh, beliaulah
yang dimaksud dengan “Raja Si Ujud“, mungkin sekali berasal dari “Raja
Selayut“… karena pernah tinggal di Selayut. Menurut saya, nama Raja Si
Ujud , Raja Raden dan Putroe Beureuhut-isteri Si Ujud adalam nama-nama
khayalan sipengarang HMD. Dalam bahasa Arab, “Wujud” artinya ada. Karena
“raja” Portugis di Malaka tidak dikenal lagi, maka disebut saja “Raja
itu memang ada alias Raja Si Ujud”. Begitu pula dengan Raja Raden.
Akibat nama abang Raja Si Ujud tidak diketahui yang sebenarnya, maka
digantikan saja dengan Raja Raden, suatu gelar kehromatan karena Raja
Raden memihak Aceh, yakni gelar seorang bangsawan. Sementara nama
Putroe Beurehut, malah diberi nama yang menjelekkan. Beureuhut adalah
lobang neraka di dunia. Mon Beureuhut(sumur beruhut) , menurut kitab
Tambeh/nadham Aceh terdapat di wilayah Syam/. Irak.
Isi ringkas Hikayat Malem Dagang adalah sebagai berikut :
Seorang raja yang bernama Raja
Raden alias Raja Meulaka alias Raja Seberang alias Raja Bungsu bersama
dengan isterinya Puteri Pahang datang ke Aceh untuk memeluk agama
Islam. Selanjutnya, diceritakan Raja Raden memberikan isterinya Puteri
Pahang kepada Sultan Iskandar Muda sebagai hadiah. Sebaliknya, Sultan
Iskandar Muda memberikan adiknya buat isteri Raja Raden. Tidak berapa
lama kemudian, datang pula Raja Si Ujud alias Raja Johor alias Raja
Banang alias Raja Guha alias Raja Meulaka ke Aceh. Ia adalah adik
kandung Raja Raden. Sultan Iskandar Muda membuat pesta besar-besaran
menyambut tamu agungnya itu.
Sebuah istana khusus dibuatkan
di Ladong-Krueng Raya bagi Raja Si Ujud. Tetapi tamu itu ternyata
curang. Raja Si Ujud méngajak abangnya pulang ke Meulaka serta
mengambil kembali Puteri Pahang dan menceraikan isterinya, yang adik
Sultan Iskandar Muda itu. Karena rencana jahatnya tidak direstui
abangnya Raja Raden, maka ia melakukan keonaran di Aceh. Bersama para
pengikutnya, Raja Siujud melakukan perampokan beberapa kampung di
pantai, membakar Ladong dan Krueng Raya serta menawan puluhan nelayan.
Setelah melampiaskan berbagai penyiksaan – seperti mengail orang di
kelopak mata dan kerongkongan -; akhirnya berlayarlah Raja Si Ujud
pulang ke negerinya.
Tetapi
Raja Raden tetap percaya/setia kepada Sultan Iskandar Muda dan
ekspedisi untuk menghadapi Si Ujud dipersiapkan. Armadanya menyusuri
sepanjang pantai utara dan timur Aceh, dimana-mana disiapkan bala
bantuan, untuk akhirnya menyeberang ke Semenanjung Malaka. Sementara
itu, dalam perjalanan terjadi pemilihan seorang yang bernama Malem
Dagang menjadi Panglima Perang. Sesudah merebut Asahan dan mengunjungi
Pahang, Sultan dengan sebagian orang (prajurit) Aceh berangkat ke Johor
Lama, dan sementara itu dari sana si Ujud telah berangkat ke Johor
Bali.
Di Johor Lama tanpa menemui
adanya perlawanan sedikitpun, dilakukan konsolidasi kekuatan dalam
rangka menunggu kedatangan musuh, akan tetapi ternyata musuh tidak
muncul. Malem Dagang dan armadanya tetap berada di laut sampai ia
bertemu dengan armada musuh yang besar di Laut Banang, dimana ia
melakukan perlawanan (pertempuran). Saat itu Sultan Iskandar Muda di
Johor, 7 hari perjalanan kapal, dipanggil untuk ambil bagian dalam
pertempuran. Dalam pertempuran gugurlah panglima musuh,yaitu , ayah dari
isteri Si Ujud, sehingga musuh melarikan diri. Si Ujud sendiri pada
waktu itu masih di Guha. Ia memutuskan mundur dari pertempuran, tetapi
isterinya mengobarkan semangat untuk membalas dendam atas kematian
ayahnya..
Namun ia tidak memperoleh
kemenangan, bahkan ia ditangkap dan ditawan. Dalam perjalanan pulang ke
Aceh telah dilakukan berbagai percobaan untuk membunuh Raja Si Ujud
yang menolak untuk memeluk agama Islam. Pertama-tama, percobaan
pembunuhan itu dilakukan di laut kemudian di Aceh, tetapi gagal; karena
ia memiliki kekuatan magisnya yang hebat (sakti). Akhirnya, atas
petunjuknya sendiri ia dituangi kedalam mulutnya timah hitam cair (bara
timah hitam yang meleleh), maka Raja Si Ujud pun mati. Diantara para
pelaku kisah yang penting di pihak Aceh adalah Sultan Iskanda
Muda,Puteri Pahang(Putroe Phang), Raja Raden, Malem Dagang, Ya
Madinah/Ja Pakeh dan Panglima Pidie. Sementara di pihak musuh, yakni
Raja Si Ujud, Putroe Beureuhut, dan Mudalikah-Putroe Halawiyah yang
juga mertua Si Ujud.
Menurut data-data sejarah,
bahwa Raja Sebrang kawin dengan saudara perempuan Sultan Iskandar Muda.
Sejak itu, ia diharapkan menjadi teman dalam membantu Aceh melawan
Portugis. Akan tetapi ketika Sultan ini pulang kembali ke Johor pada
tahun 1614, ia telah dengan giat melakukan perundingan lagi dengan
Portugis. Tindakan yang kedua kalinya itu tidak memuaskan orang-orang
Aceh, sebab itulah pada ekspedisi Aceh yang kedua ia ditangkap
kembali, lalu dibawa ke Aceh dan di bunuh di sana. .
Adalah penting untuk menyelidiki
ekspedisi kedua ini secara lebih cermat. Armada Aceh mendapati Johor
telah ditinggalkan penduduknya. Dalam perjalanan pulang bertemu dengan
armada Portugis di bawah pimpinan Miranda dan Mendoca, yang datang dari
Malaka untuk membantu Johor tetapi dipukul mundur. Pertempuran ini
diidentifikasi oleh Hoesein Djajadiningrat sebagai pertempuran yang
disebutkan dalam Boetanus-Salatin, yaitu pertempuran di Baning . Pada
kesempatan itu Sultan ditangkap kembali dan dibawa ke Aceh.
Jika data-data ini dibandingkan
dengan cerita dari Hikayat Malem Dagang, ternyata ditemukan kesamaan.
Dalam syair hikayat disebutkan kedatangan dua raja bersaudara ke Aceh,
yang antara lain bergelar sebagai raja-raja Johor. Menurut data-data
historis demikian juga halnya. Bahwa kedatangan mereka ke Aceh tidak
sepenuhnya secara sukarela. Dalam kedua versi itu juga disebutkan bahwa
salah satu dari mereka kawin dengan adik perempuan Sultan Iskandar
Muda.dan satunya lagi pulang kembali ke Johor ,yang selanjutnya setelah
banyak melakukan tindakan yang kurang berkenaan bagi orang-orang Aceh,
ia ditangkap oleh ekspedisi dan dibunuh.
Hal-hal yang khusus dari
ekspedisi ini juga menunjukkan adanya kesamaan: dalam kedua peristiwa
itu armada menemukan Sultan melarikan diri, dan oleh karena itu kota
Johor diduduki. Dalam pertempuran berikutnya di Baning melawan Portugis
dalam perjalanan pulang, ditemukan kembali dalam syair sebagai perang
laut di “Laot Banang”. Bahkan namanya juga sama, pada mana harus
dinyatakan bahwa “Baning” dan “Banang” sama-sama jenis hurufnya bila
ditulis dalam karakter bahasa Arab.
Alasan kedatangan dua bersaudara
di Aceh tidak disebutkan dalam HMD. Penulis syair hikayat hanya
mengatakan bahwa Raja Raden pada suatu hari datang dan diikuti oleh
saudara laki-lakinya yaitu Si Ujud. Hanya beberapa bait yang memberikan
episode ini, yang menceritakan bahwa Raja Raden datang untuk memeluk
agama Islam. Tidak ada penjelasan lebih jauh bahwa ia berangkat ke Aceh
dengan keperluan khusus. Bisa diperkirakan maksud kedatangannya yang
sesungguhnya dirahasiakan ,sehubungan dengan perkawinannya dengan
keluarga Sultan Aceh. Kedua raja itu dalam kenyataan sesungguhnya bukan
kafir, tetapi hanya melakukan persekutuan antara Johor dengan
Portugis.
Demikian juga penggambaran orang
Aceh tidak benar, antara syair dengan kenyataan adalah berbeda. Pada
satu sisi perundingan-perundingan berlangsung di Aceh sebelum kembali ke
Johor,sedangkan pada sisi yang lain perundingan-perundingan terjadi di
Johor sesudah kepulangan ke Johor itu. Akan tetapi tidak boleh
diabaikan bahwa dalam syair kepahlawanan yang setengah lagendaris itu;
kenyataan-kenyataan historis telah kehilangan bentuk yang seharusnya.
Kesesuaian secara keseluruhan atau bahkan pada bagian yang khusus/
penting saja tidak diperjelaskan..
Namun demikian, nampaknya
sangat bisa diterima bahwa inti dari HMD adalah pengiriman ekspedisi
pada tahun 1615 ke Johor, dan itu adalah yang kedua. Sebab Sultan yang
di kembalikan ke Johor telah bersekongkol dengan Portugis.
Bagian awal syair adalah hasil
dari ekspedisi pertama, yang berlangsung pada tahun 1613, yaitu
kedatangan kedua raja yang di tawan itu di Aceh, tetapi dengan
perbedaan, bahwa kedatangan ini dalam syair digambarkan sebagai
kedatangan sukarela, dan diperkirakan bahwa tokoh Raja Raden dan Si Ujud
menggantikan nama kedua raja tersebut.
Akan tetapi masih ada persoalan
mengenai kedua raja itu, yaitu siapakah sesungguhnya yang Raja Raden dan
yang Si Ujud itu. Jika mengikuti pendapat Hoesein Djajadiningrat; maka
Sultan AlaidinRiayat Syah III sendirilah sebagai Raja Si Ujud,,yang
tidak lama sesudah penangkapannya diperbolehkan kembali ke negerinya,
sementara Raja Abdullah (Raja Sebrang) yang kawin dengan adik perempuan
Sultan Iskandar Muda dan tetap tinggal di Aceh adalah Raja Raden.
Raja Sebrang dan Si Ujud =
Alaidin. Akan tetapi hal itu bertentangan dengan pendapat Roeffaer,
bahwa Raja Sebrang dikirim kembali /dipulangkan ke Johor sebagai
pengganti saudara laki-lakinya, yang berarti itu adalah Raja Raden.
Alaidin dan Si Ujud = Raja
Sebrang. Namun harus di sadari, meskipun suatu Epos itu berdasarkan pada
peristiwa sejarah, harus diakui adanya karakter yang bersifat sangat
lagendaris. Data-data darinya memang bisa diambil untuk mengisi
kekosongan-kekosongan data dalam pengetahuan sejarah- yang untuk itu
orang harus sangat berhati-hati. Demikian juga hal itu ditemukan
argumentasi yang mengkritisi HMD, yaitu pendapat Hoesein dan Rouffaer
yang sebelumnya.
Pertama adalah adanya saling
hubungan famili: Alaidin adalah kakak laki-laki Raja Sebrang . Kemudian.
salah satu nama dari Raja Sebrang berbunyi : “Raja Bungsu” yang
berarti “termuda”. Demikian juga persaudaraan itu hanya bersifat
pengakuan saja, sama yang seperti tersebut dalam Sejarah Melayu.
Diperkirakan juga bahwa penangkapan hubungan persaudaraan adik dan kakak
ini karena yang terakhir itu adalah yang sesungguhnya sebagai raja
yang memerintah. Hal ini banyak sekali disebutkan dalam Sejarah Melayu.
Dalam HMD Si Ujud memanggil Raja Raden dengan sebutan “dalem” yaitu
berarti abang atau “saudara tua” dan sebaliknya Raja Raden memanggil Si
Ujud dengan sebutan “adoe” yang berarti adik atau “saudara muda”.
Akhirnya
terdapat karakter ( tabiat ) khas dari kedua raja itu; sejauh yang
diperoleh dari berita-berita. Secara umum berita-berita itu menjelaskan,
bahwa Alaidin adalah pengantuk dan raja yang tidak punya watak, yang
mengabaikan pemerintahannya dan menyerahkannya kepada saudara
laki-lakinya Raja Sebrang, yang mempunyai sifat sebaliknya yaitu orang
yang tegas dan terpercaya.
Adalah aneh bahwa Alaidin yang
pengantuk ini, yang di kembalikan oleh Sultan Aceh dan dibawah
pengawasan orang Aceh, tiba-tiba melakukan gerakan melawan Aceh,
sementara ia juga harus kehilangan dukungan dari saudaranya. Karakter
yang demikian itu lebih cocok bagi Raja Raden/ Raja Sebrang. Tetapi
bertentangan dengan yang tersebut di atas masih terdapat beberapa
kesulitan untuk dipahami.
Demikianlah, menurut HMD bahwa
Raja Raden (dalam hal ini adalah Alaidin) Tetapi menurut data-data
historis adalah Raja Sebrang (dalam hal ini adalah Raja Si Ujud) menikah
dengan saudara perempuan Iskandar Muda. Dalam hal ini masih bisa
dipertanyakan. Berdasarkan berita-berita Eropa hanya membicarakan
mengenai penangkapan Raja Sebrang pada tahun 1613, dan tidak ada
keterangan dari berita-berita itu mengenai adanya perkawinan. Oleh
karena itu harus diterima, bahwa kedua saudara itu memang ditawan dan
dibawa ke Aceh. Tetapi lebih mungkin, bahwa bukan Raja Sebrang yang
dinikahkan, melainkan Alaidin. Namun demikian argumen ini juga belum
bisa dikatakan kuat.
.
Setelah menyimak beragam pendapat tentang persoalan di atas, maka H.K.J. Cowan berpendapat sebagai berikut :
“Berdasarkan keraguan-keraguan
yang telah disebutkan di atas, maka apakah saya (H.K.J. Cowan) akan
mengikuti salah satu pendapat tersebut di atas, yaitu sehubungan dengan
persoalan identifikasi bahwa Raja Raden adalah Alaidin dan Si Ujud
adalah Raja Sebrang atau sebaliknya. Ternyata keraguan itu menjadi lebih
besar; setelah saya mengetahui isi hikayat (tulisan tangan) yang ada
pada saya.
Menurut hikayat ini Si
Ujud tidak dibunuh di Aceh, tetapi ia berhasil meloloskan diri dari
penjara dan via Banang ia berhasil tiba di Guha, dan di sana ia diterima
dengan suka cita oleh isteri-isterinya. Tidak lama setelah itu ia
meninggal dunia. Setelah dimakamkan, isterinya-isterinya mengirim orang
ke Aceh untuk memohon kepada Raja Raden untuk menjadi penggantinya.
Sultan Iskandar Muda menyetujui permintaan itu dan menyuruh saudara
perempuannya (Putroe ijo) ikut pergi dengan Raja Raden ke Johor. Tetapi
ia ditinggalkan di Johor lama, sedangkan Raja Raden melanjutkan
perjalanan melalui Johor Bali ke Guha. Kelima isteri Si Ujud memeluk
Islam.
Sampai disini ada kekosongan
(hilang) sebanyak 2.5 halaman dalam hikayat sehingga kelanjutan cerita
menjadi sangat tidak jelas. Ada dibicarakan mengenai seorang “Teungku”
yang dalam petualangannya sampai di Johor lama, dan disitu ia menjadi
sangat terkenal. Pada suatu hari ia di panggil oleh “Malem/Ulama
setempat” untuk menjalankan ibadah shalat jum’at di mesjid, tetapi
nampaknya ia tidak mau, sebab menurutnya bukan hari Jum’at (disini ada
kekosongan halaman lagi). Selanjutnya cerita dimulai lagi dengan
percakapan antara “Teungku” dengan Putroe Hijo, yang ternyata keduanya
berjanji untuk pergi secara diam-diam.
Pada suatu malam ia disuruh
menenggelamkan kapal di sungai satu persatu dengan menggunakan bor,
sementara ia sendiri berlayar ke pulau Weh. Sampai disana “Teungku”
memberi tahu bahwa ia ingin menjual barang berharga (mahal), yang oleh
karena itu Sultan Iskandar Muda berangkat ke kapal Teungku itu. Ketika
ia melihat saudara perempuannya, keduanya jatuh pingsan. Selanjutnya
keduanya dibawa masuk sebagai satu-satunya hadiah “Teungku”, yang ingin
menerima pembebasan anak-anaknya, dan sampai disini tulisan tangan
(Hikayat) tiba-tiba berakhir.
Apa yang harus kita lihat dalam
episode ini? Mengenai adanya penambahan fantastis oleh penyalin hikayat,
memang hal semacam itu sering terjadi. Atau apakah kita dalam hal ini
bisa mengetahui gema (informasi) yang mengakibatkan dilaksanakannya
ekspedisi Aceh ke tiga terhadap Sultan Johor pada tahun 1623, dimana
raja yang tersebut terakhir itu dikejar sampai Lingga dan Tambela, pada
tahun itu juga akhirnya ia meniggal? Sesungguhnya mengenai hal
itu kita bisa menemukan dalam berita-berita sejarah mengenai pemulangan
kembali ke Aceh saudara perempuan Iskandar Muda yang telah menjadi
isteri Raja Johor oleh Raja Johor sendiri.
Selanjutnya episode ini bisa
sesuai dengan data historis, bahwa saudara laki-laki yang lain telah
menggantikannya, dan pergantian itu terjadi sesudah berhasilnya
ekspedisi tahun 1615, yaitu sesudah meninggalnya saudara laki-lakinya
yang lain. Jika kesesuaian ini bukan merupakan kebetulan, mengingat
menurut data historis Abdullah adalah yang menggantikannya, maka Raja
Raden dalam hikayat yang kami punya adalah sama dengan Radja Abdullah
dan yang berarti juga bukan Raja Si Ujud. Dengan demikian juga benarlah
pendapat Hoesein Djajaningrat, bahwa Alaidin sendiri adalah yang di
pulangkan ke Johor, sementara pendapat Roeffaer tidak benar“.
Mengenai para pelaku cerita
dipihak Aceh, beberapa sumber memberitahukan saya (T.A..Sakti), bahwa
makam Ya Madinah terdapat di Meureudu, Pidie, makam Panglima Pidie ada
di Keulibeuet, Pidie. Sementara Makam Raja Raden terdapat dekat
Gunongan di Banda Aceh. Dimana makam Malem Dagang dan Raja Si Ujud??? .
Kalau kedua tokoh penting HMD tidak diketahui jajaknya, timbullah
pertanyaan apakah keduanya tokoh nyata atau hanya tohoh khayalan
pengarang HMD???
