Antara Polisi Baik dan Polisi Jahat
Oleh Khairil Miswar
GAGAH
perkasa, ganteng, keren, dan pemberani, demikianlah pendapat sebagian
orang ketika mereka mendengar nama polisi disebut. Namun, di sebalik
pujian tersebut ada pula sebagian pihak yang menggambarkan polisi
sebagai tukang tilang, kasar, sok pintar, ego dan suka menggertak. Kedua
pandangan atau penilaian ini jika disatukan, maka bisa ditarik benang
merah bahwa ada dua model polisi yang lahir dan hidup di tanah air kita
Indonesia, yaitu model polisi baik dan model polisi jahat.
Seorang
polisi dikatakan baik jika dia menyadari bahwa dirinya adalah polisi.
Konsekwensi dari rasa sadarnya tersebut adalah dia akan menjalankan
fungsinya sebagaimana mestinya, sebagai pengayom dan pelindung
masyarakat. Sebagai pengayom masyarakat dia akan bersikap santun dan
ramah; sebagai penegak hukum dia tidak akan melanggar hukum; dan sebagai
perwira dia akan menjadi teladan bagi bintara dan tamtama.
Sedangkan
seorang polisi itu dikatakan jahat jika dia “hilang kesadaran” alias
melupakan fungsinya yang mulia tadi, yakni sebagai pengayom dan
pelindung masyarakat. Bahkan, seperti sering kita baca di media, ada
oknum polisi yang kemudian menjadi koruptor, gembong narkoba, bandar
judi, tukang pungli, pemeras bule (turis) ataupun perampok bank dan
tindakan-tindakan melanggar hukum lainnya.
Menurut penulis,
munculnya dua model polisi sebagaimana disinggung di atas disebabkan
oleh motivasi yang ada pada diri mereka ketika hendak melamar menjadi
polisi. Jika seseorang melamar menjadi polisi dengan maksud agar
terlihat gagah dan ditakuti oleh masyarakat, maka sikapnya tersebut akan
membentuk dirinya menjadi polisi jahat. Sebaliknya, jika seseorang
melamar menjadi polisi dengan tujuan ingin menegakkan hukum dan ia
konsisten dengan tujuannya tersebut, maka insya Allah dia akan menjadi
polisi baik.
Jika diukur secara kuantitas, dapat disimpulkan bahwa
jumlah polisi baik di Indonesia lebih banyak jika dibanding dengan
jumlah polisi jahat yang hanya segelintir saja. Menurut penulis, selama
seorang polisi itu tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum maka dia
harus dimasukkan dalam katagori polisi baik, adapun kejahatan yang
dilakukan secara tertutup dan tidak tebukti secara hukum, wallahu a’lam.
Demikian juga, jika seorang polisi terbukti melakukan kejahatan,
meskipun dia dikenal sebagai orang baik, tetap saja harus digolongkan
ke dalam katagori polisi jahat. Berdasarkan rumus ini, maka lahirlah
kesimpulan sebagaimana penulis sebutkan di atas bahwa; mayoritas polisi
di Indonesia adalah baik. Namun besarnya jumlah polisi baik tidak akan
berarti apa-apa jika mereka justru membiarkan oknum-oknum polisi jahat
terus bergentayangan. Bisa disimpulkan bahwa citra kepolisian di mata
publik sangat ditentukan oleh baik tidaknya perilaku seorang polisi itu
sendiri.
Belajar dari kasus Sabang
Sebagai contoh, masih ingat kasus oknum polisi yang dihukum cambuk di Sabang? Ketika itu, seorang perwira polisi berpangkat Komisaris Polisi (Kompol) membuat geger warga Sabang yang hendak menyaksikan pelaksanaan hukuman cambuk yang digelar di halaman Masjid Agung Kota Sabang, menjelang shalat Zuhur, pada 23 Mei 2013 lalu. Perwira polisi itu datang dengan pengawalan ketat, lalu menurunkan seorang terdakwa judi (maisir) dari panggung, yang merupakan oknum polisi di Sabang (Serambinews.com, 23/5/2013).
Sebagai contoh, masih ingat kasus oknum polisi yang dihukum cambuk di Sabang? Ketika itu, seorang perwira polisi berpangkat Komisaris Polisi (Kompol) membuat geger warga Sabang yang hendak menyaksikan pelaksanaan hukuman cambuk yang digelar di halaman Masjid Agung Kota Sabang, menjelang shalat Zuhur, pada 23 Mei 2013 lalu. Perwira polisi itu datang dengan pengawalan ketat, lalu menurunkan seorang terdakwa judi (maisir) dari panggung, yang merupakan oknum polisi di Sabang (Serambinews.com, 23/5/2013).
Semua pihak yang ada di lokasi tersebut, ketika itu,
hanya tercengang dan tak bisa berbuat apa-apa. Jaksa Penuntut Umum (JPU)
bersama sejumlah rekannya yang bertugas melaksanakan eksekusi cambuk
itu dan tiga algojo serta beberapa polisi syariah atau Wilayatul Hisbah
(WH) hanya terpaku saja dan tidak berupaya menghalangi tindakan perwira
polisi itu (Acehkita.com, 23/5/13). Menyikapi kejadian tersebut Kapolres
Sabang menyatakan bahwa hal itu terjadi karena kurangnya koordinasi dan
tidak adanya permintaan dari para eksekutor kepada pihak Polres untuk
melakukan pengamanan terhadap eksekusi tersebut (Serambinews.com,
24/5/13).
Berpijak pada informasi yang disajikan oleh beberapa
media sebagaimana penulis kutip di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Perwira Polisi Sabang yang berpangkat Kompol tersebut masuk dalam
katagori “Polisi Jahat” sebagaimana telah disinggung di awal tulisan
ini. Perwira tersebut telah hilang kesadaran dan lupa bahwa dirinya
adalah seorang polisi yang seharusnya menjadi penegak hukum, bukan malah
mencabik-cabik hukum dengan kekuatan yang ia miliki.
Terkait
dengan pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar Syariat Islam khususnya
pelaku maisir (judi) telah jelas diatur dalam Qanun No.13 Tahun 2003.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap perwira polisi di Sabang
yang telah menggagalkan eksekusi merupakan pelecehan terhadap qanun
Syariat Islam, khususnya qanun tentang maisir. Di samping itu pernyataan
perwira polisi Sabang bahwa anggota polisi tidak bisa dicambuk dan akan
dihukum sendiri oleh pihak Kepolisian adalah pernyataan konyol dan
merupakan sebuah bentuk penghinaan terhadap pelaksanaan Syariat Islam di
Aceh.
Jika setiap instansi dibenarkan membatalkan eksekusi dan
memberi hukuman sendiri kepada anggotanya, lantas akan dikemanakan Qanun
No.13 Tahun 2003? Jika hal ini dibiarkan maka jangan heran jika suatu
saat akan ada kepala sekolah yang menggagalkan eksekusi hanya karena ada
guru yang kena cambuk, demikian juga Gubernur, Bupati, Camat dan
instansi lainnya juga akan membatalkan eksekusi jika ada anggota atau
anak buahnya yang dicambuk. Logikanya, jika memang polisi boleh
menggagalkan eksekusi, kenapa instansi lain tidak?
Namun demikian,
kita bisa membayangkan jika sekiranya aksi penggagalan eksekusi seperti
yang terjadi di Sabang dilakukan oleh seorang tukang becak ataupun
masyarakat awam, apa yang akan terjadi? Tentu si pelaku tersebut akan
diserang dan diamuk massa, bahkan bukan tidak mungkin si pelaku juga
akan dibunuh ataupun dibakar hidup-hidup karena dianggap telah menghina
pelaksanaan Syariat Islam. Resiko paling ringan yang terima oleh pelaku
adalah ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Tapi, ketika aksi
penggagalam tersebut dilakukan oleh seorang perwira polisi, semua pihak
(di tempat kejadian) hanya diam membisu dan tidak mampu melakukan
apa-apa.
Di samping itu, menurut penulis pernyataan yang
disampaikan oleh Kapolres Sabang bahwa aksi tersebut bukanlah pembubaran
tetapi terjadi karena kurangnya koordinasi adalah pernyataan yang sama
sekali tidak logis dan terkesan buang badan. Jika aksi tersebut
dilakukan oleh polisi berpangkat rendah alias Bintara atau Tamtama
mungkin masih bisa dimengerti, tapi ini justru dipraktikkan oleh seorang
Wakapolres yang seharusnya menjadi contoh bagi anak buahnya.
Kita
berharap kepada pihak kepolisian, terutama segenap jajaran polisi di
Aceh untuk terus menjadi polisi yang baik, dengan melakukan langkah
terbaik agar citra kepolisian yang telah mulai pulih dalam beberapa
waktu terakhir tidak lagi tercoreng akibat perilaku segelintir oknum
polisi jahat atau yang dalam istilah Komjen Pol Nanan Sukarna
menyebutnya dengan “polisi brengsek”. Jangan biarkan para polisi di Aceh
menggebrak Syariat Islam. Dirgahayu Bhayangkara!
Khairil Miswar, Alumnus IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, dan Sekjen Jeumpa Mirah, berdomisili di Bireuen, Aceh. Email: khairilmiswar@yahoo.com
Sumber Dari : http://aceh.tribunnews.com/2013/07/01/antara-polisi-baik-dan-polisi-jahat